Reaktualisasi Makna Taqwa Kepada Allah

REAKTUALISASI MAKNA TAQWA KEPADA ALLAH

Oleh:
Drs. H. Jamrizal, M.Pd

اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، وَاَشْهَدُ أَنْ لاَّ اِلِهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، وَاَشْهْدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، صَلَوَاتُ رَبِّيْ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Taala yang telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya dan menjanjikan berbagai keutamaan bagi siapa saja yang menjalankannya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.

Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan sebenar-benar takwa. Takwa yang akan membuat seseorang memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tidak bertakwa akan mendatangkan kesulitan dan bencana. Oleh karena itu, kita semuanya dan seluruh muslimin sesungguhnya sangat butuh akan takwa. Allah Subhanahu wa Taala telah menyebutkan di dalam Alquran, ayat-ayat yang berkaitan dengan takwa dan keutamaannya, begitu pula Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam di dalam hadits-haditsnya. Maka, takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya yang harus dipahami maksudnya dan senantiasa dijaga, serta dijalankan oleh setiap muslim. Bukan sekadar kalimat yang selalu didengar atau diucapkan, namun tidak diperhatikan dan tidak ada wujudnya.
Para ulama telah menjelaskan definisi takwa dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda, namun semuanya kembali pada maksud yang sama. Yaitu agar seseorang membuat penghalang yang membentengi dan menjaga dirinya dari terkena kemarahan dan azab Allah Subhanahu wa Taala. Tidak lain adalah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwasanya pondasi dari ketakwaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Taala adalah persaksiannya terhadap dua kalimat syahadat. Persaksian terhadap dua kalimat syahadat ini bukanlah sekadar diucapkan dengan lisan. Namun juga harus dipahami maknanya, serta diamalkan kandungannya. Sehingga, siapa saja yang telah bersaksi dengan dua kalimat syahadat ini, dia harus meninggalkan dan berlepas diri, serta meyakini batilnya segala bentuk peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Taala dan mengarahkan segala bentuk ibadahnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Taala saja. Begitu pula dia harus mengimani bahwa Muhammad bin ‘Abdillah ibn ‘Abdul Muththalib shallallahu „alaihi wa sallam adalah hamba Allah Subhanahu wa Taala dan utusan-Nya. Yaitu dia meyakini bahwa beliau adalah seorang hamba yang tidak boleh diibadahi, sekaligus beliau seorang Rasul yang tidak boleh didustai. Di samping itu, dia juga harus meyakini bahwa Nabi Muhammad shalallahu „alaihi wa sallam adalah penutup para nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Taala untuk seluruh manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِيْ نَفْسُ مَحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ ، يَهُوْدِيٌ وَلاَنَصْرَانِيٌ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.

 “Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya –yakni demi Allah– tidaklah satu pun yang telah mendengar tentang aku dari umat ini baik dari kalangan Yahudi dan tidak pula dari kalangan Nasrani, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali (dia) termasuk dari penghuni neraka.” (H.R. Muslim)

Hadirin rahimakumullah,
Termasuk konsekuensi dari dua kalimat syahadat adalah harus mencintai Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
 “Tidaklah sempurna iman salah seseorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya.” (H.R. Muslim).
Di samping itu, dua kalimat syahadat juga mengharuskan orang yang mengucapkannya untuk mencintai saudaranya sesama muslim yang tidaklah dia mencintainya, kecuali karena Allah Subhanahu wa Taala. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ اْلمَرْءَ لاَيُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِيْ اْلكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.

“Tiga perkara, yang apabila seseorang itu memilikinya, maka dia dengan sebab tiga perkara tersebut akan mendapatkan manisnya iman, (yaitu) seorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya; dan dia mencintai saudaranya yang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah; serta dia membenci untuk kembali terjatuh kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia tidak ingin dirinya dilempar ke api.” (H.R. Muslim)
Seseorang yang masih mendahulukan keinginan dirinya dengan mengikuti hawa nafsunya daripada kecintaannya, serta ketaatannya kepada Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya, maka hal itu menunjukkan kelemahan imannya dan kurang sempurnanya dirinya dalam melaksanakan dua kalimat syahadat.

Hadirin rahimakumullah,
Di samping itu, ketakwaan seseorang juga tidak akan terwujud kecuali dia harus menjalankan kewajiban yang paling besar setelah menjalankan dua kalimat syahadat yaitu menegakkan shalat lima waktu. Amalan ini merupakan tiang Islam, dan merupakan barometer untuk menimbang baik atau tidaknya amalan seseorang, serta sebagai pembeda yang membedakan antara seorang muslim dengan orang kafir. Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya,
bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# öNä3çRºuq÷zÎ*sù Îû Ç`ƒÏe$!$# 
Artinya: ... Dan Jika mereka mau bertaubat, menegakkan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (At Taubah.11)
Ayat ini menunjukkan, bahwa orang yang tidak mau menjalankan kewajiban shalat lima waktu bukanlah saudara kita seiman.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Seseorang yang ingin bertakwa, dia harus mewujudkan persaksiannya terhadap dua kalimat syahadat. Yaitu dengan menjadikan Allah Subhanahu wa Taala sebagai satu-satunya yang diibadahi dan meninggalkan seluruh jenis perbuatan syirik, serta membencinya sebagaimana bencinya dirinya terkena api. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa disebut sebagai orang yang bertakwa apabila dia masih membenarkan atau membolehkan diarahkannya salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Taala, meskipun dia menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Maka untuk mewujudkan takwa, seseorang harus membangun ibadahnya di atas pondasi ini, serta harus menegakkan shalat lima waktu yang akan menjadi tiang dari ketakwaannya. Selanjutnya sebagai bentuk ketakwaan yang sebenar-benarnya, dia pun harus menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Taala lainnya, serta meninggalkan larangan-larangan-Nya. Oleh karena itu, marilah kita bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala atas diri kita dengan tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Di samping itu juga atas keluarga kita dengan menjalankan tanggung jawab kepada mereka dan tidak menyia-nyiakannya. Begitu pula, marilah kita bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala terhadap kerabat kita dengan menjaga silaturahim dan tidak memutusnya, serta terhadap saudara-saudara kita seiman dengan tetap menjaga kehormatan mereka.

Hadirin rahimakumullah,
Dari uraian tersebut di atas, kita mengetahui betapa butuhnya kita akan takwa. Karena setiap orang tentu menginginkan jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya. Terlebih permasalahannya menyangkut agama atau akhiratnya, karena masalah ini akan berkaitan dengan selamat dan tidaknya seseorang dari siksa kubur serta kejadian berikutnya saat berada di padang mahsyar sampai kemudian berujung pada selamat dan tidaknya dirinya dari terkena pedihnya siksa api neraka. Maka, setiap orang tentu membutuhkan ilmu untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang batil, serta mana yang baik akibatnya dan mana yang berbahaya. Begitu pula yang berkaitan dengan urusan dunia, setiap orang tentu membutuhkan rezeki dan kemudahan dalam urusan-urusan yang dihadapinya. Baik yang berkaitan dengan istri, anak, dan keluarga maupun dengan masyarakat di sekitarnya. Semua ini akan bisa diselesaikan dan menjadi baik hasilnya apabila dihadapi dengan takwa. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Taala menjadikan kita semua menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya. Amin Ya Rabbal Alamin….


بَـارَكَ اللهُ ِليْ وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعِْنيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ اْلحَكِيْمِ . اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمِ ِليْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ.
Share this post :

Posting Komentar

Berita Lainnya

Kutipan


"Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk (Imam An Nawawi)"



Get this widget!
 
Support : Creating Website | Doni Ari Efendi,S.Pd.I
Copyright © 2015. Bidang Penais, Zakat dan Wakaf

Proudly powered by Blogger